PERSPEKTIF,
MAHASISWA,PELAJAR, POLITIK,
KAMPUS DAN
SEKOLAH
Partai Nasdem - Gerakan
Perubahan,
Oleh Willy Aditya
Militer dan mahasiswa
adalah dua variabel sejarah yang pada satu masa pernah ‘bertunangan’ hingga berbulan madu pasca 1966. Namun pernah pula mahasiswa ibarat orang yang
diusir dari rumah sendiri oleh pasangannya melalui kebijakan NKK/BKK. Berkuasanya Soeharto,
membuat kegiatan politik dikerangkeng. Masih lekat dalam ingatan kita, istilah Dwi
Fungsi ABRI yang begitu populer di jagad politik Indonesia saat itu.
Saat Dwi Fungsi begitu berkuasa, suara penentangnya keras terdengar. Peristiwa
Malari ’74 menjadi titik balik masa bulan madu dengan diberlakukannya Normalisasi
Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Mahasiswa dipaksa tiarap dengan kebijakan yang
menjauhkan mahasiswa dari politik. Mereka dipaksa menyingkir dari habitatnya jika mereka
ingin berkegiatan politik.
Begitu dahsyatnya pengaruh lumut-lumut NKK/BKK, membuat kultur depolitisasi
berlangsung hingga hari ini. Bahkan Reformasi 1998 tidak mampu menyadarkan mahasiswa dari
hegemoninya. Istilah-istilah seperti intra dan ekstra kampus, gerakan moral, dan lain-lain,
masih terasa hingga sekarang. Kampus masih asing dari politik, bahkan menolaknya. Tidak hanya dalam
peraturannya, mahasiswanya pun secara psikokultural masih alergi dengan segala hal berbau
politik. Terutama dengan partai politik.
Yang menjadi maksud adalah seperti ini: kalangan kampus yang aktif di partai
politik, baik dosen atau pun mahasiswanya, bisa aktif di partai politik namun dia harus
meninggalkan habitatnya. Kampus tidak bisa menjadi ajang pergulatan dan diskursus (partai) politik.
Kampus selalu disterilisasi atas segala hal yang terkait dengan partai politik. Dari aras suprastrukturnya, hal ini dimentahkan oleh statuta kampus maupun
peraturan negara. Misalnya Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 26/DIKTI/KEP/2002
tentang pelarangan partai politik dalam lingkungan kampus. Peraturan ini melarang
segala bentuk organisasi ekstra kampus dan partai politik membuka sekretariat dan atau melakukan
aktivitas politik praktis di kampus.
Dari arus bawahnya, mahasiswa, masih melekat kuat bahwa partai politik adalah
biang keladi kerusakan negara, dan oleh karenanya tidak boleh masuk ke wilayahnya yang
“suci”. Kampus adalah lembaga yang bersih dari kepentingan, dari kekuasaan, dari kampanye. Intinya,
kampus is the holy place yang tidak boleh terkontaminasi zat bernama partai. Padahal di kampus itu ada mata kuliah tentang pengantar ilmu politik,
komunikasi politik, filsafat politik, pilar-pilar demokrasi, dan seterusnya. Itu semua diperbolehkan dan
bagus. Namun jika instrumennya yang sudah masuk, segera ditolaknya mentah-mentah.
Hebatnya NKK/BKK adalah hegemoninya yang bisa menjalar kepada mahasiswa yang
tidak mengalami masa represifitas Orde Baru. Perilaku apolitis, anti-politik, alergi
terhadap partai, spirit gerakan moral, masih terus direproduksi. Aktor-aktor utamanya adalah
gerakan-gerakan mahasiswa yang masih menggunakan pakem lama dan statuta kampus itu sendiri. Di sisi lain mungkin ini bisa dipahami mengingat perilaku partai politik kita
saat ini. Namun ada penjelasan juga mengapa situasi ini terjadi, dan itu sangat terkait dengan
dinamika kampus. Politik kita menjadi semacam sekarang ini karena kampus membuat jarak dengan kehidupan
politik itu sendiri, terutama dengan partai politik. Mereka yang justru punya kapasitas
membiarkan orang- orang yang sekadar memiliki ketenaran dan uang untuk duduk dalam
lembaga-lembaga politik. Apa lacur? Kita masih menyaksikan roman politik yang bopeng hingga detik ini.
Reformasi TNI
Satu teriakan paling lantang yang disuarakan oleh gerakan ’98 adalah cabut Dwi
Fungsi ABRI atau TNI. Dwi Fungsi saat itu dituduh sebagai perilaku serong atas demokrasi.
Militer yang seharusnya bertugas sebagai fungsi pertahanan negara malah nimbrung dalam kehidupan
politik negara.Akibatnya, rezim komando dan represif berlaku dalam politik Indonesia saat itu. Itulah mengapa sayap-sayap gerakan mahasiswa dari yang paling kiri hingga yang
paling kanan berteriak keras soal ini. Reformasi ’98 memuluskan jalan pada tuntutan
tersebut. Secara gradual namun pasti, TNI mulai mengembalikan peran dan fungsi politik kepada kalangan
sipil. Reformasi TNI pun berjalan sukses dengan mengokohkan militer sebagai fungsi pertahanan
negara. Mereka yang ingin aktif dalam politik harus menanggalkan statusnya di militer atau
saat dia pensiun. Istilah bekennya, “militer sudah kembali ke barak”.
Namun apa yang terjadi pada militer dengan “reformasi dirinya” tidak berlaku
pada sivitas kampus. Mereka masih bertahan dengan pakemnya seperti saat menuntut dihapuskannya Dwi
Fungsi ABRI. Mereka tetap mengambil jarak dan bahkan kerap nyinyir terhadap politik. Sampai
detik ini.
Apa yang tengah terjadi?
Pasca peristiwa ’66, mahasiswa berbulan madu dengan militer. Meski mereka tetap
mengusung gerakan moral, namun beberapa kalangan mahasiswa terlibat dalam politik di
Parlemen. Kesadaran itu terus terbangun hingga 1978 yang akhirnya membuat militer dan mahasiswa
“bercerai”. Kampus menjadi menara gading, penghuninya pun asing dengan apa yang pernah terjadi dua
dekade sebelumnya. Namun apa yang terjadi saat itu tidak terjadi pada 1998. Tidak terjadi
pertunangan antara partai politik dengan gerakan mahasiswa. Kalangan kampus tidak bereforia untuk kembali
pada trahnya dulu. Hanya partai politik saja yang bereforia yang kemunculannya seperti jamur
di musim hujan.
Sepertinya NKK/BKK dan proyek depolitisasi Orde Baru lainnya telah melahirkan
dua hal. Pertama, penyakit anti partai politik yang sangat akut sampai merasuki alam bawah sadar
warga kampus. Sehingga saat disebut kata partai politik saja secara otomatis respon yang
muncul adalah sikap antipati.
Kedua, alam pikir bahwa kampus tidak bisa dimasuki partai sebagaimana masa
dulu. Mahasiswa boleh berpolitik namun harus di luar kampus. Mereka tidak boleh membawa nama
partai saat berada di kampus. Anehnya, di saat bersamaan, berbagai produk komersil bisa
masuk di tempat yang diminta steril dari kepentingan itu. Tidak hanya itu, mereka malah
mengadakan kerja sama untuk sebuah keuntungan material. Inilah sesat pikir yang tengah berlangsung
pada seluruh stake holder kampus saat ini. Mahasiswa dan institusi pendidikan adalah pembangun zoon politicon, tidak hanya
zoon economicon. Pelarangan partai politik masuk kampus adalah langkah mundur
civitas akademika terhadap tujuan pembentukan manusia yang sadar politik. Kontradiksi pun
berlaku, disaat mereka mengajarkan ilmu politik, mereka tidak memberikan ruang praktikkumnya berupa
partai politik.
Sementara jika melihat militer, mereka bisa begitu adaptif dengan situasi dan
kondisi. Mereka mampu melakukan reformasi diri ...........
What is to be done?
Jika aparat telah kembali ke baraknya, mengapa mahasiswa tidak kembali ke
kampus dengan kesadaran politiknya? Jika Dwi Fungsi ABRI telah dihapuskan, mengapa
kerak-kerak NKK/BKK dan peraturan jelmaannya tidak terkikis juga?
Kembalinya mahasiswa ke kampus dengan membawa kemerdekaan berpolitik adalah PR
yang belum tertuntaskan oleh aktivis ‘98. Kita harus berkaca dan belajar dari sejarah.
Kehadiran mahasiswa dalam kehidupan politik adalah kebutuhan.
Praktek politik di masa awal kemerdekaan bisa menjadi rujukan bersama. Praktek
penuh dengan bangunan nilai (value), sarat dengan keutamaan sikap (virtue) dan etika
(ethic), adalah warna dari politik kala itu. Selain para politisinya benar-benar paham akan dibawa ke mana
kemerdekaan, kehadiran kalangan terpelajarnya dalam organisasi-organisasi politik juga
menjadi nilai plus tersendiri. Mereka menjadi kader-kader unggul bagi partai politik kala itu.
Jargon independen yang masih dipertahankan, sesungguhnya sesat pikir kalangan
aktivisi masa kini. Sikap semacam itu sebenarnya sama dengan membiarkan politik hanya menjadi
kesempatan bagi kalangan ’berpunya’ atau ’bernama’ saja.
Kader-kader karbitan yang hanya mengandalkan popularitas tanpa pengetahuan
kebangsaan, merekalah yang akhirnya para calon wakil rakyat. Politik pun menjadi minim akan
kader-kader yang berkualitas. Delapan puluh persen anggota DPR RI saat ini dinilai kurang
memadai dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan.
Bukan saatnya kaum intelektual yang kritis hanya berteriak di jalanan atau
hanya jadi penonton. Partai saat ini butuh diisi oleh orang-orang memiliki visi kebangsaan.
Jika dulu kita mampu berbicara tentang penumbangan rezim dan mendapatkan
kemerdekaan berdemokrasi, maka adalah pengingkaran terhadap cita-cita Reformasi itu sendiri
jika kita masih saja terkekang oleh produk rezim yang wujudnya telah tiada ini.
Masing-masing zaman memiliki metode pergerakan dan cara perjuangannya sendiri.
Kita semua telah mafhum bahwa perubahan yang kita inginkan, kita wacanakan, dan kita
suarakan hanya akan bisa terjadi melalui sistem politik formal, yaitu partai politik. Tak
patut lagi mahasiswa masih berdebat dan mempersoalkan parlemen non-parlemen. Mahasiswa bukan Batman yang
bekerja sendiri; yang hanya hadir ketika kota Gotham disantroni penjahat, kemudian
menghilang ketika polisi hendak membereskan sisa-sisa pertempuran.
Sudah saatnya mitos kepahlawanan jalanan bak film ini dihapus. Mahasiswa tak
lagi memerlukan slogan independen, yang sebenarnya semu itu, untuk berkiprah dalam situasi
politik terbuka ini. Jika ingin berjuang untuk bangunan bangsa yang dicita-citakan, maka kita harus
kembali ke tempat dimana kita berasal.
Mahasiswa, mari kembali ke kampus dan mari membangun keterlibatan dalam sistem politik, karena pada kalianlah sejatinya pergerakan untuk perubahan itu berasal!
Sumber Berita: www.swarakalibata.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar